Syekh Abdul Hamid Abulung menjadi seorang tokoh ulama fenomenal pada abad ke-18 karena pengaruh ajarannya yang cepat tersebar di seputaran aliran Sungai Batang Banyu Martapura.
Ajarannya ini dianggap mengandung “ilmu sabuku”, ilmu tasawuf falsafi yang beraliran Wahdat al-Wujud. Wahdat al-Wujud diartikan sebagai pengertian bahwa alam tidak akan ada kecuali sebagai manifestasi dari Allah SWT.
Karena menyenangi tasawuf falsafi dan meyakini ajaran Wahdat al-Wujud, Syekh Abdul Hamid menyebarkan ajarannya khusus kepada muridnya yang berjumlah sepuluh orang.
Perintah hukuman mati didapatkan oleh Syekh Abdul Hamid Abulung, karena membantah perintah sultan agar menghentikan ajaran Wahdat al-Wujud. Dengan memanasnya politik kesultanan Banjarmasin yang berkaitan dengan tuntutan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah atas tahta Banjarmasin, pembengkangan Syekh Abdul Hamid Abulung ini mungkin sangat berkaitan dengan memanasnya politik tersebut.
Syekh Abdul Hamid Abulung termasuk ulama tarekat yang tidak menyetujui sikap kesultanan Banjarmasin yang selalu melakukan perjanjian kontrak dengan Belanda. Pada tanggal 18 Mei 1747 dalam kontrak dengan Belanda, Sultan Banjarmasin Tamjidillah II, bersahabat dengan Belanda dan melakukan perjanjian yang isinya Belanda mendapat monopoli lada, emas, dan intan.
Sikap politik Sultan yang cenderung bekerjasama dengan Belanda dan keluhan-keluhan masyarakat selalu diterima oleh Syekh Abdul Hamid Abulung yang mengharuskan beliau bertindak kritis terhadap sultan.
Syekh Abdul Hamid Abulung juga dianggap ikut menentang Belanda untuk itu, beliau sempat direndam dalam air di sungai Batang Banyu Abulung, namun tidak meruntuhkan perinsipnya dalam membela kepentingan komunitas setempat.
Syekh Abdul Hamid Abulung kemudian dipanggil ke istana, dengan tuduhan menyebarkan ajaran Wahdat al-Wujud. Akibatnya, Sultan Tahmidullah II, memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Syekh Abdul Hamid Abulung. Beliau kemudian dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.
Dalam rangka penebusan dosa yang telah dilakukan oleh Sultan Tahmidullah II berupa perintah hukuman mati kepada Syekh Abdul Hamid Abulung oleh para algoro raja, dibangunlah sebuah Masjid yang diberi nama Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung.
.
Penulis: Mursidul Amin & Luthfi Abdurrahman
Sumber: Noor, Y. (2016). Islamisasi Banjarmasin Abad ke-15 sampai Abad 16. Yogyakarta: Ombak.
Sumber foto: Denny Setiawan (Koranbanjar net)